Lupus Eritematosus Sistemik
(Systemic Lupus Erythematosus)
A. Pengertian Lupus Eritematosus
Sistemik.
Lupus
Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit
autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi,
termasuk antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs), sehingga menyebabkan
kerusakan berbagai organ. Manifestasi klinisnya tergantung organ mana yang
terkena. Dengan demikian tampilan klinis LES sangat bervariasi baik
berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya. Hal ini tentu saja menyulitkan
dokter untuk mendiagnosis secara dini. Jika pasien terdiagnosis dalam keadaan
sudah jelas semua tanda dan gejalanya timbul, biasanya penyakitnya sudah berat,
penatalaksaannya lebih sulit, butuh obat-obatan yang lebih mahal dan
prognosisnyapun lebih buruk.
B. Epidemiologi.
Sembilan
puluh persen pasien LES adalah wanita usia produktif. puncak insidensinya usia
antara 15- 40, dengan perbandingan pria dan wanita 6-10:1. Namun untuk onset
dapat bervariasi mulai dari bayi sampai dengan usia lanjut, dan pada kelompok
usia ini perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Pada populasi secara
keseluruhan LES mengenai sekitar 1: 2000 orang, dan bervariasi dipengaruhi
jenis kelamin, ras, etnis, dan status sosial ekonomi.
LES
berkaitan erat dengan hubungan kekerabatan, frekuensinya lebih tinggi pada
kerabat dekat pasien (seperti: kakak, adik, ibu). Penyakit ini terjadi pada kembar monozigot
sekitar 25%-50% dan 5% pada kembar dizigot.
Etiologi
lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang penyakit LES
dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel T, atau pada
interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan aktivasi
sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan autoantibodi secara
berlebihan.
Autoantibodi
adalah antibodi patologik yang terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat
membedakan antara “self ” dan “nonself ”. Selain itu banyak faktor lain yang
berperan terhadap timbulnya penyakit LES, antara lain faktor genetik,
defisiensi komplemen, hormon, lingkungan, stress, obat-obatan dan faktor-faktor
lain.
LES
ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan
episode aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi
antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang
menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas
sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme
downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi
autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan depositnya
di jaringan menimbulkan kerusakan sistemik.
Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus
Sistemik.
1. Malar rash / Ruam pada wajah.
Eritema yang rata atau sedikit menimbul
diatas permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya tidak mengenai
plika nasolabialis.
2. Lupus discoid.
Ruam berbentuk bulatan menimbul diatas
pemukaan kulit dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada
lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan parut.
3. Fotosensitif.
Ruam kulit timbul sebagai reaksi
hipersensitivitas terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis atau
pemeriksaan fisik.
4. Ulserasi oral atau nasofaring.
Biasanya tidak terasa nyeri, didapatkan
dari pemeriksaan fisik.
5. Artritis.
Artritis non erosif mengenai 2 sendi atau lebih, bengkak dan terasa nyeri
atau terdapat efusi sinovial.
6. Serositis.
a. Pleuritis
– adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan pleura pada
pemeriksaan atau ada efusi pleura.
b. Perikarditis
–dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium atau ada efusi pericardium.
7. Kelainan Ginjal.
a. Proteinuria
menetap > 0.5 g/hari atau pemeriksaan proteinuria urin sewaktu > 3+.
b. Celular
cast – dapat berupa sel eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Kelainan Neurologis .
a. Kejang
– spontan bukan karena obat-obatatn atau gangguan metabolisme seperti uremia,
ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
b. Psikosis
tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan metabolisme seperti
uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Kelainan Hematologic.
a. Anemia
hemolitik dengan retikulositosis.
b. Leukopenia
– kurang dari 4000/mm3 pada 2/ lebih pengukuran.
c. Limfopenia
– kurang dari 1500/mm3 pada 2/ lebih pengukuran.
d. Trombositopenia
– kurang dari 100.000/mm3 tanpa
obat-obatan yang dapat menimbulkan trombositopenia.
10. Kelainan Immunologi.
a. Anti-DNA:
titer abnormal antibodi terhadap native DNA.
b. Anti-SM:
adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.
c. Antiphospholipid
antibodi positif berdasarkan pada :
1. Titer
serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin.
2. Antikoagulan
lupus positif dengan menggunakan metode standar.
3. Uji
serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi oelh uji
imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi antibodi treponema.
11. Antibodi Antinuclear.
Titer ANA abnormal diperiksa dengan
metode imunoflurosensi atau cara lain yang
setara, yang dilakukan pada waktu
yang sama atau adanya sindroma lupus karena obat.
1.
Non
Farmakologis.
a.
Edukasi.
Edukasi penderita memegang peranan
penting mengingat SLE merupakan penyakit
yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan
penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi
rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting
diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan
saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan
risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.
b.
Dukungan
sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter,
keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama
penderita lupus.
c.
Istirahat.
Penderita SLE sering mengalami fatigue
sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain
seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
d.
Tabir
surya.
Pada penderita SLE aktifitas penyakit
dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk
menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya
dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e.
Monitor
Ketat.
Penderita SLE mudah mengalami infeksi
sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya.
Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan
kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis
dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu
pengendalian faktor risiko seperi merokok,
obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
2.
Farmakologis.
a.
Terapi
Imunomodulator.
Merupakan obat utama pada gangguan
sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding
hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan
fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif
dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan
paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5
mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil >
1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap
2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan. Efek samping yang sering terjadi
adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila
obat dihentikan.
Azathioprine adalah analog purin yang
menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan
humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai
alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai
steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan
sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika
perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3
mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil >
1000.
Jika diberikan bersamaan dengan
allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang
terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi
sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati
lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif
aman.
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de
novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis.
Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian
diikuti dengan 20 mg/hari.
Methotrexate diberikan dengan dosis
15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk
keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan
serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga
perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5
mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang
nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds
DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul
hipertensi maka dosisnya harus
disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia
gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum.
Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma
nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin.
Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil,
diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
b.
Agen
Biologis.
1.
Anti
B lymphocyte stimulator.
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan
bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B.
LymphoStatB merupakan antibodi monoklonal
terhadap BlyS.
2.
Sitokin
inhibitor.
Meskipun telah ada penelitian yang
menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria
dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi
klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.
Obat anti malaria yang digunakan pada
SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin.
Digunakan untuk keluhan konstitusional,
manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis.
Kombinasi obat antimalaria memiliki efek
sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif.
Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari)
dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai
steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu
perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
c.
Hormon
Seks.
Bromokriptin yang secara selektif
menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat
mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat
untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid)
dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun
terutama trombositopeni dan anemia hemolitik.
Estrogen replacement therapy (ERT) dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih
terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam
menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan
riwayat trombosis.
Kortikosteroid efektif untuk menangani
berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan
untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan
sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral
dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara
tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional,
kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan
bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan
induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya.
Adanya keterlibatan organ penting
seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik,
umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid
parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa,
dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek
yang
tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid,
peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne,
hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma,
diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur,
iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit
terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin
dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk
meminimalisasi
osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan
eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000
unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis
dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau
actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama
kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak
terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin
dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
G. NSAID (Non Steroid Anti
Inflammatory Drug).
NSAID
digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem
saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya
proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan
oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis
aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum
transaminase secara reversibel.
Gangguan
gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh
inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek
sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus
yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat
mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus
masih kontroversi. Indikasinya adalah
kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP
(Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah
imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc,
regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak
mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari
selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,
artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek
samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta
kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan
defisiensi IgA.
Comments
Post a Comment