Hukum Perikatan : Jual Beli, Tukar – Menukar, Sewa – Menyewa, Pengangkutan Dan Penghibahan (Bagian 1)
Hukum Perikatan : Jual Beli, Tukar –
Menukar, Sewa – Menyewa, Pengangkutan Dan Penghibahan (Bagian 1)
A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli.
Jual beli adalah suatu perjanjian
bertimbal balik dalam mana ,pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si
pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai
imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
2. Saat terjadinya Perjanjian Jual Beli.
Unsur-unsur pokok dalam perjanian jual
beli adalah barang dan harga, sesuai asas konsesualisme (kesepakatan) yang
menjiwai hukum perjanjian maka perjanjian jual beli akan ada saat terjadinya
atau tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga.
Sifat konsesual dari jual beli tersebut
ditegaskan dalam pasal 1458 BW yang berbunyi :
“Jual beli sianggap sudah terjadi
antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang
barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar”.
Sebagaimana diketahui hukum perjanjian
dari BW menganut asas konsesualisme, artinya ialah bahwa untuk melahirkan
perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan
pada saat atau detik tercapainya konsesus
sebagaimana dimaksud diatas.
3. Kewajiban Penjual.
Bagi
pihak penjual terdapat dua kewajiban utama dalam perjanjian jual beli,
diantaranya yaitu :
a.
Menyerahkan
hak milik atas barang yang diperjual belikan.
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi
segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas
barang (barang bergerak, barang tetap maupun barang tak bertubuh atau piutang
atau penagihan atau claim) yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada
pembeli.
b.
Menanggung
tenteram atas barang tersebut.
Kewajiban untuk menanggung kenikmatan
tenteram merupakan konsekuwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan
kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh - sungguh
miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu
pihak.
Kewajiban tersebut menemukan
realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai
terjadi si pembeli karena suatu gugatan pihak ke tiga.
4. Kewajiban Pembeli.
Kewajiban pembeli adalah membayar harga
pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana dietapkan menurut perjanjian.
Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu
pembayaran, maka si pembeli harus membayar ditempat dan pada waktu dimana
penyerahan barangnya harus dilakukan (pasal 1514).
5. Resiko dalam Perjanjian Jual Beli.
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian
yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu
pihak. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari
persoalan tentang keadan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak
dapat diduga.
Mengenai
resiko dalam jual beli dalam BW disebutkan ada tiga peraturan yang terkait akan
hal itu, yaitu :
a. Mengenai
barang tertentu (pasal 1460).
b. Mengenai
barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (pasal 1461).
c. Mengenai
barang - barang yang dijual menurut tumpukan (pasal 1462).
Namun
perlu
diingat bahwa selama belum dilever mengenai barang dari macam apa saja,
resikonya masih harus dipikul oleh penjual, yang masih merupakan pemilik sampai
pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli.
6. Jual Beli dengan Hak Membeli Kembali.
Kekuasaan untuk membeli kembali barang
yang telah dijual (recht van wederinkoop, right to repurchase) diterbitkan dari
suatu perjanjian dimana si penjual diberikan hak untuk mengambil kembali
barangnya yang telah dijual. Dengan mengembalikan harga pembelian yang telah
diterimanya disertai semua biaya yang telah dikeluarkan (oleh si pembeli) untuk
menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya. Begitu pula biaya - biaya yang
perlu untuk pembetulan - pembetulan dan pengeluaran - pengeluaran yang
menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya. (pasal 1519 dan 1532).
7. Jual Beli Piutang dan lain - lain
Hak Tak Bertubuh.
Dalam pasal 1533 disebutkan bahwa
penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya, seperti
penangungan - penanggungan, hak - hak istimewa dan hipotik - hipotik.
Kemudian dalam pasal 1534 disebutkan “barangsiapa
yang menjual suatu piutang atau suatu hak tak bertubuh lainnya, harus
menanggung bahwa hak itu benar ada pada waktu diserahkannya, biarpun penjualan
dilakukan tanpa janji penanggungan.
8. Hak Reklame (Menuntut Kembali).
Dalam hal jual beli diadakan tanpa suatu
janji bahwa harga barang boleh diangsur atau dicicil dan pembeli tidak membayar
harga itu, maka selama barangnya masih berada ditangannya si pembeli, penjual
dapat menuntut kembali barangnya asal penuntutan kembali itu dalam jangka waktu
30 hari.
Dasar hukum pengaturan menganai hak
reklame adalah terdapat dalam pasal 1145 BW. Selain itu juga dapat dijumpai
dalam pasal 230 KUHD, akan tetapi dalam KUHD tersebut hanya berlaku dalam
halnya si pembeli telah dinyatakan pailit.
Syarat
- syarat untuk melancarkan reklame dalam KUHD adalah lebih longgar dibandingkan
dengan syarat - syarat yang ditetapkan dalam pasal 1145 BW, yaitu :
a. Jual
beli tidak usah jual beli tunai (kontan), jadi jual beli kreditpun boleh.
b. Penuntutan
kembali dapat dilakukan dalam jangka waktu 60 hari, jadi lebih lama dari jangka
waktu yang diperkenankan oleh pasal 1145 BW.
c. Tuntutan
reklame masih boleh dilancarkan meskipun barangnya sudah berada ditangan orang
lain.
9. Jual Beli “Barang Orang Lain”.
Pasal 1471 BW menggariskan “Jual
beli barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar untuk
penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah mengetahui
bahwa barang itu kepunyaan orang lain”.
B. Tukar – Menukar.
Tukar
- menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal - balik sebagai
gantinya suatu barang lain. Perjanjian ini juga dikenal dengan nama “Barter”.
Segala apa yang dapat dijual, dapat juga menjadi objek perjanjian tukar - menukar.
Segala peraturan - peraturan tentang perjanjian jual - beli juga berlaku
terhadap perjanjian tukar - menukar (pasal 1546).
Resiko
dalam perjanjian tukar-menukar diatur dalam pasal 1545 yang berbunyi :
“jika
suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar
kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur dan siapa yang
dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia
telah berikan dalam tukar menukar”.
C. Sewa – Menyewa.
1. Pengertian Sewa - Menyewa.
Sewa - menyewa adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak
yang lainnya kenikmatan dari suatu barang. Selama suatu waktu tertentu dan
dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu
disanggupi pembayarannya (pasal 1548 B.W).
Sewa Menyewa adalah suatu perjanjian
konsensual artinya ia sudah sah dan
mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur - unsur pokoknya, yaitu
barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk
dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini
adalah membayar “Harga Sewa”.
Pasal 1579 Berbunyi : “Pihak yang menyewakan tidak dapat
menghentikan sewanya dngan menyatakan hendak memaai sendiri barangnya yang
disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebelumnya”.
Tentang Harga Sewa : kalau dalam jual
beli harga harus berupa uang, karena kalau berupa barang perjanjianyabukan jual
- beli lagi tetapi menjadi tukar - menukar, tetapi dalam sewa - menyewa tidaklah
menjadi keberatan bahwa harga sewa itu berupa barang atau jasa.
2. Kewajiban - kewajiban pihak yang
menyewakan.
Pihak
yang menyewakan mempunyai kewajiban :
a.
Menyerahkan barang yang disewakan
kepada si penyewa.
b.
Memelihara barang yang disewakan
sedemikian hingga itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
c.
Memberikan kepada si penyewa kenikmatan
tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
3. Kewajiban - kewajiban penyewa.
Bagi
si penyewa ada dua kewajiban utama yaitu :
a. Memakai
barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumah yang baik”, sesuai dengan
tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewanya.
b. Membayar
harga sewa pada waktu - waktu yang telah ditentukan menurut pejanjian.
4. Resiko dalam Sewa Penyewa.
Menurut pasal 1553, dalam sewa - menyewa
itu mengenai barang yang dipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu
pihak yang menyewakan.
5. Gangguan dari Pihak Ketiga.
Apabila selama waktu sewa, si penyewa
dalam pemakaian barang yang disewakan diganggu oleh seorang pihak ketiga
berdasar atas suatu hak yang dikemukakan oleh orang pihak ketiga akan dapatlah
si penyewa menuntut dari pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi
secara sepadan dengan sifat gangguan itu.
6. Mengulang Sewakan.
Si penyewa jika kapadanya tidak telah
diperijinkan oleh pemilik barang, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang
yang disewanya maupun melepas sewanya kepada orang lain.
Kecuali kalau hal - hal itu
diperjanjikan tetapi kalau menyewakan sebagian dari sebuah rumah tempat tinggal
yang disewa adalah diperbolehkan kecuali kalau hal itu telah dilarang dalam
perjanjian sewanya.
7. Sewa tertulis dan sewa lisan.
Meskipun sewa menyewa adalah suatu
perjanjian konsensual, namun oleh undang - undang diadakan perbedaan dalam
akibat - akibatnya antara sewa tertulis dan sewa lisan.
a. Jika
sewa menyewa itu diadakan secara tertulis
maka sewa menyewa berakhir demi hukum (otomatis) apabila waktu yang
ditentukan sudah habis tanpa diperlukannya sesatu pemberitahuan pemberhantian
untuk itu.
b. Sebaliknya
jika sewa menyewa tidak dibuat dengan tertulis maka sewa itu tidak berahir pada
waktu yang ditentukan.
Perihal sewa menyewa secara tertulis
diatur dalam pasal 1570 sedangkan perihal sewa menyewa yang tidak tertulis
(lisan) diatur dalam pasal 1571.
8. Jual beli tidak memutuskan sewa
menyewa.
Dengan dijualnya barang yang disewa,
suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila ia
telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barangnya (pasal 1576).
9. Pandbeslag.
Merupakan hak utama yang diberikan oleh
undang - undang atas barang - barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi
rumah tersebut guna menjamin pembayaran tunggakkan uang sewa.
Artinya dalam suatu eksekusi (lelang
sita) atas barang - barang perabot rumah yang dipakai untuk menghiasi rumah
tersebut. Sipemilik rumah harus paling dahulu diberikan sejumlah yang cukup
dari pendapatan lelangan untuk melunasi tunggakan uang sewa yang menjadi
haknya, sebelum kreditur - kreditur lainnya menerima bagian mereka.
10. Sewa - Menyewa Perumahan.
Masalah perumahan merupakan suatu
masalah social yang sangat penting. Pasca Perang Dunia II banyak rumah - rumah
gedung yang dikuasai oleh pemerintah untuk diatur penggunaan atau penghuninya.
Pada masa sekarang pengaturan mengenai
hal itu oleh pemerintah digariskan dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1958
tentang urusan perumahan. Pelaksanaan mengenai urusan perumahan diserahkan
kepada Kantor Urusan Perumahan, oleh karenanya untuk menmpati rumah tersebut
harus ada surat ijin penghuni (SIP) yang diberikan oleh Kantor Urusan
Perumahan.
11. Sewa Beli.
Sewa beli sebenarnya adalah suat macam
jual beli, setidak - tidaknya ia lebih mendekati jual beli daripada sewa - menyewa,
meskipun ia merupakan suatu campuran dari keduanya dan diberikan judul “Sewa Menyewa”.
Hakekat dari sewa beli adalah suatu
macam perjanjian jual beli dimana selama harga belum dibayar lunas maka si
pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya.
D. Perjanjian Untuk Melakukan
Pekerjaan.
Undang - undang membagi perjanjian untuk
melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu :
1.
Perjanjian
untuk melakukan Jasa - jasa Tertentu.
Maksud dalam perjanjian ini yaitu suatu
pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya pekerjaan untuk mencapai
suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak
lawannya itu.
Termasuk dalam golongan ini lajimnya
yaitu hubungan antara seorang pasien dengan dokter, hubungan antara seorang
pengacara dengan kliennya yang minta diurusinya suatu perkra, hubungan antara
seorang notaris dengan seorang yang datang kepadanya untuk dibuatkan suatu akte
dan lain sebagainya.
2.
Perjanjian
Kerja atau Perburuhan.
Yaitu
perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana
ditandai oleh ciri - ciri :
a. Adanya
suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan.
b. Adanya
suatu “hubungan diperatas” atau “dienstverhouding” yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah - perintah
yang harus ditaati oleh yang lain.
Mengenai
hal
ini diatur dalam pasal 1601 – 1603 BW. Sedangkan untuk perjanjian kerja laut
diatur dalam Bab IV dari Buku II KUHD.
3.
Perjanjian
pemborongan kerja.
Yaitu suatu perjanjian antara seorang
(pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong
pekerjaan) dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang
disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga
pemborongan .
E. Pengangkutan.
Perjanjian
pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan
aman membawa orang atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang
lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. Perjanjian pengangkutan ini diatur
dalam Buku III KUHPdt pasal 1235 - 1243.
Disamping
perjanjian, undang - undang dan kebiasaan merupakan sumber hukum pengangkutan.
Karena merupakan sebuah sumber hukum didalam perjanjian pengangkutan selain apa
yang tertulis dalam suatu undang - undang adalah perjanjian antara pihak
pengirim dan pihak pengangkut juga kebiasaan yang berderajat undang - undang
merupakan termasuk sumber hukum.
Perjanjian
pengangkutan selalu diikuti dengan dokumen pengangkutan, karena dokumen
pengangkutan atau surat muatan merupakan atau dapat dijadikan bukti tertulis
antara pengirim dan pengangkut apabila suatu saat terjadi perkara atau
peristiwa hukum.
F. Persekutuan.
1.
Pengertian
Persekutuan.
Persekutuan adalah suatu perjanjian
antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang
akan dicapai dengan jalan masing - masing memmasukkan sesuatu dalam suatu
kekayaan bersama (Pasal 1618 BW).
2.
Hubungan
antara para sekutu.
Undang - undang menetapkan bahwa sekutu
yang hanya memasukkan tenaganya saja, mendapat bagian yang sama dari keutungan
bersama seperti sekutu yang memasukkan “modal yang paling sedikit (pasal 1633
ayat 2).
Hubungan antar para sekutu, dalam hal
adanya pertetangan antara kepentingan
sekutu dan kepentingan persekutuan, selalu memberikan prioritas kepada
kepentingan persekutuan.
Apabila persekutuan, sebagai akibat
kesalahan seorang sekutu didalam mengerjakan sesuatu urusan, menderita kerugian
maka sekutu tersebut harus mengganti kerugian itu tanpa dibolehkan
mengkonpensasikan keuntungan - keuntungan yang diperolehnya bagi persekutuan
dalam lain urusan (pasal 1630).
3.
Hubungan
para sekutu dengan pihak ketiga.
Tanggung jawab para sekutu terhadap
pihak keiga ditegaskan dalam pasal 1643 dimana para sekutu dapat dituntut oleh
siberpiutang dengan siapa mereka telah bertindak. Masing - masing untuk suatu
jumlah dan bagian yang sama.
Meskipun bagian sekutu yang satu dalam
persekutuan adalah kurang daripada bagian sekutu yang lainnya kecuali apabila
sewaktu hutang tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban para sekutu
itu, untuk membayar hutang tersebut menurut imbangan besarnya bagian masing - masing
dalam persekutuan.
4.
Macam
- macam Cara Berakhirnya Persekutuan.
Menurut
pasal 1646 B.W persekutuan berakhir, apabila :
a.
Dengan lewatnya waktu untuk mana
persekutuan telah diadakan.
b.
Dengan musnahnya barang atau
diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan.
c.
Atas kehendak semata - mata dari
beberapa atau seorang sekutu.
d.
Jika salah seorang sekutu meninggal
atau ditaruh dibawah pengampunan atau dinyatakan pailit.
Perkumpulan
Yaitu beberapa orang yang hendak mencapai suatu tujuan dala bidang non - ekonomis
(tidak untuk mencari keuntungan) bersepakat mengadakan suatu kerjasama yang
bentuk dan caranya diletakan dalam apa yang dinamakan anggaran dasar atau
reklemen atau statuten.
Suatu
perkumpulan dapat dimintakan pengakuan sebagai badan hukum dari menteri
kehakiman menurut peraturan sebagaimana termaktub dalam lembaran Negara tahun
1870 no. 64.
G. Penghibahan.
1.
Pengertian
dan Ketentuan - ketentuan Umum.
Menurut pasal 1666 B.W., Penghibahan
adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan
Cuma - Cuma dan dengan tidak dapat di tarik kembali, menyerahkan sesuatu barang
guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Penghibahan hanyalah dapat mengenai barang
- barang yang sudah ada. Jika ia meliputi barang - barang yang baru akan ada di
kemudian hari maka sekadar mengenai itu hibahnya adalah batal (pasal 1667).
2.
Kecakapan
untuk Memberi dan Menerima Hibah.
Untuk menghibahkan, seorang, selainnya
bahwa ia harus sehat pikirannya, harus sudah dewasa. Untuk menerima suatu
hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa tetapi ia harus diwakili oleh orang
tua atau wali.
3.
Cara
Menghibahkan Sesuatu.
Pasal 1682 menetapkan tiada suatu hibah
kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan
selainnya dengan suatu akta notaries, yang aslinya disimpan oleh notaries itu.
Dari pasal 1682 dan 1687 tersebut dapat
kita lihat bahwa untuk penghibahan benda tak bergerak ditetapkan suatu
formalitas dalam bentuk akte notaris tetapi untuk penghibahan barang bergerak
yang berteguh atau surat penagihan hutang atas tunjuk tidak diperlukan sesuatu
formalitas dan dapat dilakukan secara sah dengan penyerahan barangnya begitu
saja kepada sipenerima hibah atau kepada seorang pihak ketiga yang menerima
pemberian hibah atas namanya.
4.
Penarikan
Kembali dan Penghapusan Hibah.
Meskipun suatu penghibahan tidak dapat
ditarik kembali secara sepihak tanpa persetujuan pihak lawan, namun ditentukan
oleh pasal 1688 bagi si penghibah untuk dalam hal - hal tertentu menarik
kembali atau menghapuskan hibah yang telah diberikan pada seseorang.
Penarikan kembali atau penghapusan penghibahan dilakukan
dengan menyatakan kehendaknya kepada si penerima hibah disetai penuntutan
kembali barang - barang yang telah di hibahkan. Apabila itu tidak dipenuhi secara
sukarela, maka penuntutan kembali barang - barang itu di ajukan kepada
pengadilan.
Comments
Post a Comment